Di balik gemerlap industri sepak bola Eropa, Andhika menemukan fakta menarik tentang kesederhanaan yang dikelola dengan sistem luar biasa.

YOGYAKARTA, PSIMJOGJA.ID – Operator kompetisi ILeague memberikan kesempatan emas bagi setiap klub Elite Pro Academy (EPA) untuk memperdalam ilmu pengelolaan akademi sepak bola langsung ke Barcelona, Spanyol. Program kunjungan intensif selama dua minggu ini diikuti oleh para Direktur Akademi dari masing-masing klub.

Direktur Akademi EPA PSIM Jogja, Andhika Mulia Pratama, turut serta dalam rombongan tersebut. Membawa misi besar untuk menyelami dua sisi berbeda pembinaan sepak bola di Negeri Matador, Andhika membedah dapur akademi sederhana CF Can Vidalet dan raksasa La Liga, Villarreal CF.

Di balik gemerlap industri sepak bola Eropa, Andhika justru menemukan fakta menarik tentang kesederhanaan yang dikelola dengan sistem luar biasa. Ia mengaku terkesan dengan Can Vidalet, sebuah klub yang mampu berprestasi meski berada di wilayah dengan keterbatasan ekonomi.

“Kami berkunjung ke akademi Can Vidalet, sebuah akademi di kecamatan Barcelona yang tingkat ekonominya paling rendah. Namun, mereka memiliki struktur organisasi yang sangat rapi,” ungkap Andhika membuka ceritanya.

Membangun Kualitas Pelatih

Fakta yang paling membuka mata Andhika adalah prioritas pembinaan di level akar rumput Spanyol. Di sana, kualitas pelatih menjadi kunci utama sebelum menuntut kualitas pemain di atas lapangan. Evaluasi dilakukan secara mendalam dan tajam, tidak hanya kepada pemain, tetapi justru difokuskan kepada para juru taktik.

“Di Can Vidalet, pengembangannya (development) tidak ke pemain, tapi ke staf pelatihnya. Misalnya dalam pertandingan ada kekurangan, ya kita (pemain) langsung tanya jawab dan evaluasi ke pelatihnya,” jelas Andhika.

Pendekatan terbuka ini menciptakan ekosistem yang sehat. Kemenangan bukan harga mati, melainkan pemahaman sepak bola yang benar adalah tujuan utamanya. Baik bagi pelatih maupun pemain. Logika berpikir inilah yang ingin ditanamkan Andhika sekembalinya ke Yogyakarta.

“Prinsip mereka, kalau pelatihnya bagus dan paham, otomatis pemainnya pasti bagus. Tapi kalau hanya pemainnya yang bagus, tetapi diberi pelatih yang kurang kompeten, ya tidak mungkin timnya menjadi bagus,” tegasnya.

Bertahan Hidup di “Kota Sunyi”

Inspirasi berbeda datang saat Andhika bertandang ke markas Villarreal. Kota kecil berpenduduk hanya sekitar 50.000 jiwa ini mengajarkan realitas industri sepak bola modern yang pragmatis. Mereka tidak membeli pemain bintang dengan uang melimpah, melainkan mencetaknya sendiri demi keberlangsungan hidup klub.

“Mereka mengakui timnya tidak punya banyak uang karena kota mereka itu kota kecil. Makanya sempat dibilang kota ini sebagai ‘Kota Sunyi’ (ketika home match),” tutur Andhika menggambarkan suasana di sana.

Strategi bertahan hidup Villarreal sangat jelas bertumpu pada akademi. Akademi adalah jantung klub, dan pemain adalah aset paling berharga untuk menjaga napas tim utama agar tetap berkompetisi di level tertinggi.

“Jawabannya cukup realistis. Selama kita masih bisa menjual pemain (hasil binaan akademi), tim ini tidak akan degradasi,” ujar Andhika menirukan prinsip koleganya di Villarreal.

Oleh-oleh ilmu dari dua klub berbeda di Spanyol ini menjadi bekal berharga bagi masa depan Laskar Mataram Muda. Andhika menyadari bahwa adaptasi teknologi canggih mungkin membutuhkan waktu dan biaya besar. Namun, perbaikan sumber daya manusia adalah investasi yang bisa dimulai detik ini juga.

“Hal pertama yang mungkin bisa saya terapkan di sini adalah develop (mengembangkan) pelatih. Karena kunci utamanya ada di pelatih,” tegas pria asli Yogyakarta ini.

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *