Gempa Jogja 2006

Sabtu pagi 27 Mei 2006 menjadi hari yang tak terlupakan bagi seluruh penggawa PSIM Jogja saat itu. Ketika gempa berkekuatan 5,6 Skala Richter mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah, tak hanya kehidupan sehari-hari yang terhenti, tetapi juga aktivitas sepak bola mereka. Kenangan akan gempa Jogja masih jelas teringat meskipun sudah 18 tahun berlalu, terutama karena dampaknya yang begitu besar pada PSIM Jogja di musim itu.

Saat gempa terjadi, para pemain PSIM Jogja sedang menikmati sarapan pagi di mes pemain dengan penuh semangat. Pasalnya, mereka akan melakukan pertandingan away ke Pasuruan. Suasana yang semula tenang tiba-tiba berubah menjadi kepanikan.

“Kami lagi persiapan ke Pasuruan, sudah mandi, saya baru makan itu. Habis itu tiba-tiba buminya bergoyang. Sampai piringnya saya bawa keluar. Saya langsung lihat Gunung Merapi, karena pada saat itu Gunung Merapi pada saat itu sedang aktif juga. Memang ada gumpalan asap, tapi setelah itu kan dikonfirmasi gempanya dari Bantul,” kenang salah satu pemain PSIM Jogja, Hatri Nur Handaya.

Sementara itu, para official PSIM Jogja sudah berada di Bandara Adi Sucipto. Mereka bersiap untuk terbang ke Surabaya dalam rangka lawatan ke Pasuruan.

“Jam 5 kami sudah siap ke bandara, kami sudah berangkat terlebih dahulu. Para perangkat seperti dokter dan pelatih juga sudah berangkat dahulu, terus nanti pemain baru nyusul. Nah jam 6 kurang itu keluar semua yang di bandara. Tidak jadi berangkat,” kisah Haris Budi Setyawan, Kepala Fisioterapi PSIM Jogja musim itu.

Setelah kejadian itu, tim asuhan Sofyan Hadi memutuskan untuk tetap berangkat ke bandara. Saat sudah sampai di bandara, mereka tidak jadi terbang ke Surabaya. Masih adanya beberapa gempa susulan dan demi keselamatan tim, para penggawa kembali ke mes pemain.

Marjono, Kapten Tim musim itu tidak mengalami gempa bersama rekan setimnya. Pasalnya dia tidak ikut dalam skuad yang akan diberangkatkan ke Pasuruan.

“Waktu itu saya kebetulan tidak di mes karena saat itu kan mau tur dan saya tidak ikut karena kondisi saya kurang bagus. Saya sedang di rumah waktu gempa terjadi,” kisah Marjono.

Marjono sendiri bersyukur, saat itu mes pemain masih berupa bangunan sederhana. Dengan dinding yang masih terbuat dari kayu, membuat bangunan masih kuat berdiri melindungi para pemain meskipun saat itu dirinya tidak di tempat.

“Jangan dibayangkan mes PSIM seperti saat ini, dulu masih gedhek. Kalau tembok dah rubuh itu,” papar Marjono.

Mundur dari Kompetisi

Gempa tersebut memaksa PSIM Jogja, bersama klub lain asal DIY, PSS Sleman mengundurkan diri dari kompetisi Divisi Utama 2006. Keputusan ini diambil bukan hanya karena kondisi fisik dan emosional para pemain dan official yang terguncang, tetapi juga karena infrastruktur dan fasilitas latihan yang rusak akibat gempa.

Di musim itu, PSSI meniadakan degradasi bagi kedua tim asal DIY itu. Namun tak mau terpuruk terlalu lama, PSIM Jogja kembali bergabung di kompetisi musim berikutnya.

Gempa Jogja 27 Mei 2006 tetap menjadi kenangan yang takkan pernah dilupakan oleh para penggawa PSIM Jogja. Peristiwa ini menjadi bagian dari sejarah klub, mengingatkan mereka akan kekuatan, ketangguhan, dan semangat juang yang tetap menyala meskipun menghadapi tantangan berat. Meskipun harus mengundurkan diri dari kompetisi, semangat untuk bangkit dan berjuang tetap menjadi motivasi utama mereka dalam menghadapi musim-musim berikutnya.

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *