Menjadi salah satu pemain dengan julukan “One Man One Club”, Ony Kurniawan selalu memiliki ruang untuk PSIM Jogja di hatinya. Memulai karier dengan motivasi keluarga dan pelatih favoritnya menjadikannya salah satu penjaga gawang idola penggemar PSIM Jogja. Berikut hasil wawancara kami dengan penjaga gawang yang menghabiskan 15 tahun masa karier sepakbolanya bersama PSIM Jogja.
Halo Ony Kurniawan, punya kesibukan apa sekarang?
Sejak tahun 2009 saya masuk ke Perumda PDAM Tirta Amarta sebagai staf kepegawaian. Sampai sekarang masih di PDAM. Kesibukan lainnya ya saya hanya melatih di SSB. Jadi pagi di PDAM, sore di lapangan.
Bergabung dengan PSIM Jogja sejak dini, apa yang menjadi motivasinya?
Saya asli Jogja, kebetulan rumah saya di belakang mes persis, di timur SD Baciro. Ibu bapak di situ. Sejak kecil sering menonton latihannya PSIM, main ke mes juga. Kebetulan di lingkungan keluarga saya pemain bola semua. Bapak kiper juga, om saya, pakdhe, sampai adek main bola juga. Jadi kalau main bola antar RT yang maju cuma serumah.
Berarti sejak kapan gabung di PSIM Jogja?
Kalau dihitung dari junior, di kompetisi tahun 1997-1998 sudah ikut Piala Soeratin. Lalu tahun 1999-2000 ikut Piala Soeratin lagi. Jadi ikut dua kali. Waktu pertama ikut masih jadi paling muda, lalu yang kedua sudah seumuran.
Habis itu dipanggillah di 2001 pas PSIM kena degradasi. Tahun 1999-2000 PSIM degradasi, kebetulan langsung pakai pemain lokal semua. Saya mencoba dapat panggilan seleksi PSIM, tapi saya mengundurkan diri karena waktu itu bertepatan saat kelas 3 SMA. Baru pada 2002 saya ikut lagi dan alhamdulillah masuk ke tim. Meskipun pada saat awal bergabung, saya jadi cadangan dulu.
Saat saya gabung, PSIM ada di Divisi Satu, sedangkan untuk tertingginya Divisi Utama. Waktu itu ada Marjono, Jatmiko, Wahyudianto di tim. Saya juga muda sendiri waktu itu. Saya jadi pelapis.
Awal bergabung di PSIM Jogja masih terhitung muda dan jadi pemain pelapis. Kapan pertama kali debut di kompetisi? Bagaimana perasaan di pertandingan pertama itu?
Saya sudah main di pertandingan ketiga. Kebetulan waktu itu main di Stadion Tugu lawan Persitara Jakarta Utara di Jakarta Utara sana. Saya masuk sebagai pengganti. Alhamdulillah di sana kita seri 1-1. Saya tidak kemasukan. Baru di pertandingan berikutnya saya dipercaya terus.
Main pertama grogi, panas dingin saya. Tapi ya itu jadi pengalaman pertama saya, wajar.
Memilih posisi di sepak bola menjadi penjaga gawang, apa yang membuat Ony Kurniawan tertarik?
Karena seragamnya beda sendiri. Kalau anak kecil kan seperti itu mikirnya. Saya lihat kalau pemain lain kan kostumnya sama, tidak kelihatan. Kalau kiper kan pakai baju panjang dan celana panjang, paling modis di lapangan. Itu lah yang membuat saya ingin jadi kiper. Kebetulan ayah saya juga kiper dulu.
Momen apa yang paling berkesan saat bersama PSIM Jogja?
Kenangan paling berkesan ya waktu awal masuk PSIM. Di situ saya sudah tidak memikirkan berapa gajinya karena kalau hatinya sudah senang, bekerja pun enak juga. Gaji pada waktu itu hanya Rp200.000 perbulan, tapi lambat laun gajinya naik sampai promosi tahun 2005. Waktu itu kita juara Divisi Satu, lawannya Persiwa Wamena. Habis itu kita dapat kontrak seperti pemain zaman sekarang.
Turut mengantarkan PSIM Jogja menjadi juara Divisi Satu, bagaimana perasaannya?
Saya senang sekali. Bahkan setelah juara itu, saya memutuskan untuk menikah juga. Biar senangnya sekalian.
Meskipun menjadi juara di musim 2005, PSIM Jogja memutuskan untuk mudur dari kompetisi di musim 2006 karena terjadi gempa di DIY. Bagaimana perasaannya?
Mau bagaimana lagi, meskipun pada waktu itu kita di wilayah barat di posisi keempat. Kita semua tim DIY memutuskan untuk mundur karena itu becana alam. Setelah itu baru masuk kompetisi lagi di 2007, tetap di Divisi Utama. Setelah itu kan terbentuk Liga Super Indonesia (ISL) untuk tahun berikutnya, tapi PSIM tidak lolos untuk ke ISL. Waktu itu karena kita berada di posisi cukup bawah. Sampai sekarang ya Divisi Utama terus (Liga 2).
Bermain bersama PSIM Jogja selama 15 tahun, bagaimana merasakan dukungan dari para pecinta PSIM Jogja?
Sebagai pemain lokal, kita tetap berbaur dengan suporter. Tetap suporter bagian dari PSIM, ada ikatan. Suporter ya kadang main ke mes.
Selama masih di Jawa, dukungan suporter masih luar biasa. Sampai kita kemarin terakhir ke Malang untuk play off, dukungannya luar biasa. Itu bagi pemain menjadi motivasi tersendiri. Kita pemain jadi merasa “kalau di luar kita bermain semaksimal mungkin, kalau di kandang jangan sampai kita kalah”.
Hanya bermain untuk PSIM Jogja, apa yang membuat Ony Kurniawan tidak tertarik untuk berganti klub?
Karena sudah mantap di PSIM dan kita mendapatkan pekerjaan di sini. Ya itu salah satu bentuk apresiasi PSIM ke saya, itu yang saya jaga. Selain itu juga ada salah satu pemain PSIM yang saya idolakan sedari kecil. Kebetulan juga pelatih saya sejak kecil, Pak Siswadi Gancis. Dari SSB sampai PSIM senior 2007 saya juga sama Pak Gancis terus. Dulu saat masih kecil, kalau yang main Pak Siswadi Gancis, di belakang gawang pasti penuh.
Menghabiskan karier sepak bola bersama PSIM Jogja, apa yang membuat Ony Kurniawan memutuskan untuk gantung sarung tangan?
Kebetulan waktu itu saat mau pensiun, sama Coach Erwan tidak boleh. Masih disuruh main lagi. Tetapi memang pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, tidak enak izin terus.
Saat pensiun dari PSIM Jogja, dibuatkan pertandingan penghormatan untuk Ony. Bagaimana perasaan saat itu?
Dukungan suporter itu yang membuat saya terharu setiap pertandingan. Terutama saat pertandingan terakhir di Stadion Sultan Agung (SSA) di mana dibikinkan pertandingan perpisahan untuk saya. Itu merupakan satu-satunya yang terjadi di PSIM. Karena selama itu belum pernah ada pelepasan pemain dibuatkan pertandingan khusus.
Tetap rasanya agak bagaimana gitu. Apalagi pas diganti, teman-teman di pinggir lapangan sudah menyalami saya. Saya sudah mau menangis, tapi teman-teman masih saja bercanda sama saya. “Jangan nangis!” mereka bilang. Malah tidak jadi sedih saya.
Tapi nanti kalau sudah sampai rumah, saya sudah tidak bisa ketemu lagi. Dulu yang kesibukannya pagi, sore, dan malam latihan, sekarang sudah banyak kosongnya. Jadi kadang merasa bosan.
Bagaimana perasaannya setelah pensiun? Apakah ada keinginan untuk bersama lagi?
Itu bagaimana ya, terus terang ada bagian hidup yang hilang. Saya selama ini pemain PSIM, tapi besok sudah tidak bisa merasakan ke mes lagi. Jadi kalau saya lewat, rasanya di hati itu ada yang aneh, sedih. Kan masih ingin bergabung, tapi sekarang hanya bisa nonton. Ya mungkin besok suatu saat bisa bergabung lagi, mungkin jadi pelatih atau apa. Harapannya di situ. Meskipun belum sempat bergabung lagi, tapi keinginan untuk bergabung kembali selalu ada.
Di PSIM ya sudah begitu. Maksudnya begitu ya, di PSIM, semua itu keluarga semua. Baik manajemen, pemain, maupun suporter kita jadi satu.
Apakah masih sering menonton langsung PSIM Jogja ke stadion?
Musim ini saya hanya sempat menonton beberapa kali karena memang jam kerja. Tapi kalau menonton di TV tetap nonton terus.
Apa harapan dan pesan untuk PSIM Jogja ke depannya?
Musim depan harapannya sama seperti tuntutan suporter, harus ke Liga 1. Tim harus benar-benar disiapkan. Dalam arti kita cari pemain yang memang setara dengan Liga 1 dan itu harus ada pemain lokal. Pemain lokal di sini adalah pemain lokal Yogyakarta. Itu harus ada karena itu juga merupakan motivasi anak-anak sini juga.