Arsip foto Sumarjono dan pemain PSIM Jogja ketika bertanding tahun 2005 (Sumber: Arsip pribadi/Sumarjono).

Sulit rasanya tak mengenang nama Sumarjono ketika menyebut PSIM Jogja. Bagi para pendukung setia Laskar Mataram, nama ini akan mengingatkan masa jaya tim kebanggan warga Kota Yogyakarta dua puluh tahun lalu. Ia adalah sosok kapten yang mengantarkan PSIM meraih gelar juara Divisi I pada tahun 2005 dan promosi ke Divisi Utama 2006. Di usianya yang kini 47 tahun, kenangan manis itu masih begitu melekat dalam ingatannya.

PSIM Lebih dari Sekadar Klub, Sebuah Kenangan Manis  

Bagi Sumarjono, mendengar kata PSIM artinya adalah kembali ke masa lalu. “Kalau disebut dengan kata PSIM, tentunya kita langsung kembali ke masa lalu. PSIM adalah tim tua dan tim penggagas lahirnya PSSI,” ujar legend PSIM yang kerap disapa Marjono itu. Lebih dari itu, PSIM membawa kenangan pribadi yang tak terlupakan baginya. “Saya sebagai pemain langsung teringat bahwa kita pernah juara di Soreang, kita naik ke Divisi Utama,” lanjutnya.

Mengenang kembali kompetisi tahun 2005, Marjono tak bisa melupakan semangat membara timnya, yang sebagian besar dihuni oleh pemain lokal. “Waktu itu memang kita dua kali hampir lolos. Tahun 2003 itu kita hampir lolos,” kenangnya. Meskipun diwarnai kehadiran pemain asing, fanatisme pemain lokal di tahun 2005 juga merupakan salah satu kunci lolosnya PSIM ke Divisi Utama. “Teman-teman pemain lokal, fanatismenya sangat tinggi pada saat itu,” tambah mantan pemain asal Kota Yogyakarta tersebut.

Meski finansial saat itu belum begitu mewah menurutnya, tetapi Marjono menegaskan bahwa hal itu tak menjadi kendala. “Dari segi finansial, saat itu hanya cukup. Tidak kurang, tapi dianggap saja cukup,” jelasnya. 

Hal lain yang menjadi kunci-paling berharga-menurutnya adalah kekeluargaan. “Dari segi kekeluargaan sangat bagus sekali. Ya kalau kita berbicara PSIM, kekeluargaan nomor satu. Itu yang kita rasakan,” tuturnya, percaya bahwa nilai ini juga masih dipegang teguh oleh PSIM hingga kini.

Ukir Sejarah dan Membawa Kebanggaan bagi Jogja

Perasaan campur aduk sempat dirasakan Marjono setelah kegagalan promosi di tahun 2003. Namun, kegagalan itu justru menjadi pelecut semangat untuk mewujudkan impian di tahun 2005. Sebagai kapten, dan juga pemain lokal, kebanggaan itu berlipat ganda. “Merasa sangat bangga. Bisa menorehkan sejarah, bisa mengukir sejarah. Yang tidak lupa lagi, bisa membahagiakan masyarakat DIY,” ucapnya penuh haru. Momen itu tak hanya membanggakan dirinya pribadi, tetapi juga mengukir senyum di wajah seluruh warga Jogja yang telah lama menanti.

Menjadi kapten bukanlah tugas mudah menurut Marjono. “Tentu saja itu menjadi tanggung jawab saya. Saya ditunjuk sebagai kapten itu adalah amanah,” ujarnya. Baginya, tugas ini dijalani dengan santai, tanpa beban. Kapten adalah panutan, jembatan antara pemain dengan pelatih dan manajemen. “Tingkah laku kita itu adalah cerminan kita. Saya dijadikan panutan,” jelasnya.

Salah satu kunci suksesnya adalah kemampuannya dalam menggali masalah yang mungkin dihadapi para pemain. “Tim itu kalau tidak banyak masalah, tim itu sehat, tim itu bagus,” katanya. Ia selalu mendorong rekan-rekannya untuk menyampaikan masalah sekecil apapun kepadanya, yang kemudian akan ia sampaikan kepada pelatih. Hubungan dekatnya dengan pelatih Sofyan Hadi menjadi pondasi penting. “Hubungan saya dengan pelatih sangat dekat sekali. Dan pelatih pun welcome dengan saya. Kita sering sharing,” ungkap mantan gelandang PSIM tersebut.

Kesulitan terbesar di tahun 2005 menurut Marjono adalah menyatukan berbagai karakter pemain untuk mencapai satu visi, yaitu juara. “Seorang kapten itu harus menyatukan beberapa karakter. Kita harus mengikuti mereka. Kita harus welcome apa keluhannya mereka,” paparnya. Dengan persiapan yang matang dan kepemimpinan Sofyan Hadi, tim berhasil melewati setiap tantangan. Baginya, tantangan terbesar justru datang dari diri sendiri: “Tantangannya adalah diri sendiri, kita mau naik atau engga. Saya berpikirnya seperti itu. Naik dan tidak itu tergantung pemain itu sendiri.”

Harapan untuk PSIM Masa Kini

Mengikuti perjalanan PSIM setelah pensiun, Marjono merasa Laskar Mataram pantas meraih juara Pegadaian Liga 2 2024/25 dan lolos ke Liga 1 2025/26. Menurutnya, skuad PSIM memang mumpuni untuk bisa meraih gelar juara tersebut. “Saya melihat tim ini bagus. Saya melihat dengan beberapa materi yang mana itu bisa bersaing dengan tim-tim lain,” ujarnya. Marjono juga mengatakan bahwa kunci utama Laskar Mataram bisa menorehkan kembali sejarah ini adalah konsekuensi. “Mau itu tim bagus atau tim jelek, yang penting tujuan kita mau menang atau kalah. Itu yang harus diingat,” tegasnya. 

Marjono mengungkapkan, keberhasilan PSIM di tahun 2025 ini adalah hasil perjuangan tim, bukan hanya satu atau dua individu. “Bukan hanya pelatih, bukan hanya kiper, tapi tim,” ia menekankan. Sama seperti di masanya, kesatuan visi antara pemain, manajemen, dan suporter adalah kekuatan utama. “Jadi, semua itu saling terkait dan berjasa,” pungkasnya.

Sumarjono bukanlah sekadar kapten legendaris, dirinya adalah cerminan dedikasi dan cinta terhadap PSIM Jogja. Kisahnya akan terus melekat dan mengiringi langkah Laskar Mataram, di manapun ia berada.

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *