Dalam lagu berjudul Sonichi, JKT48 bernyanyi dalam seuntai lirik ‘Imbangi sekolah beserta latihan’. Memang tak mudah membagi waktu. Tapi, Cholid Dalyanto bisa membuktikannya. Sambil membela PSIM Jogja, pemain kelahiran Yogyakarta itu tak melupakan untuk belajar di Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan dari Universitas Negeri Yogyakarta. Melalui jalur pendidikan tersebut, karier Cholid justru berubah. Dia meninggalkan kiprahnya sebagai pemain sepakbola profesional untuk menjadi wasit dan belakangan mengajar mata pelajaran Olahraga di SMPN 2 Banguntapan, Bantul. Kenapa bisa begitu? PSIM Jogja telah mengulik alasan-alasannya dalam sebuah hasil wawancara.
- Bagaimana kabarnya? Kesibukannya apa nih?
Yang jelas, kabar baik, keluarga semuanya baik juga. Kemudian berkaitan dengan kesibukan kami, karena kami di dunia pendidikan di sekolah.
- Apakah masih melatih di luar kegiatan di sekolah?
Saya masih di dunia sepak bola. Kita menyiapkan di kelompok latihan SSB dan sebagainya.
- Dari tahun berapa membela PSIM Jogja?
Saya 2001. Jadi prosesnya tahun 2000 itu, PSIM turun dari divisi utama ke divisi satu. Kalau dulu kan cuma dua divisi kayak Liga 1 dan Liga 2, itu ada divisi utama dan divisi satu. Turun ke kasta kedua, terus semuanya memakai pemain lokal semuanya. Nah dengan turunnya kasta itu, pemain-pemain lokal pada senang. Nah dalam hati ini merasa ada kesempatan untuk menampilkan penampilan kita untuk prestasi di PSIM, karena kalau enggak tetap di divisi utama, kesempatan kita kecil sekali, termasuk dengan Marjono itu, nah Marjono itu masuknya sama dengan saya, masuknya bareng. Dan waktu itu kan, saya dari HW (Hizbul Wathan) sama dengan Marjono, kita sama-sama seleksi di situ.
- Jadi, saat itu pakai seleksi untuk membela PSIM Jogja?
Pakai. Seleksi panjang waktu itu. Dan yang namanya orang Jogja, dalam hati, tetap mau enggak mau, seenggak-enggaknya itu (bermain) di PSIM, minimal itu. Dan itu pun dengan seleksi yang panjang sekali. Dari 200 peserta dan sebagainya, lalu yang dipanggil cuma 25 orang. Pokoknya itu diberitakan di Kedaulatan Rakyat, siapa yang nanti namanya tercantum di sana, berangkat seleksi lagi, berangkat seleksi lagi.
- Bagaimana proses seleksi untuk bermain di PSIM Jogja?
Yang jelas seleksi itu selalu ketat. Dan saya itu rumahnya di Kotagede, kemudian klub saya ada di UMY waktu di Wirobrajan, dulu UMY di situ sebelum pindah ke Gamping. Dan saya itu keras sekali dalam arti seleksi dan sebagainya, sampai saya bisa kompetisi dan mengikuti semuanya untuk seleksi. Nah ini sangat memotivasi saya sekali. Dan saya juga ikut Liga Remaja pada tahun 1997. HW (Hizbul Wathan) saat itu memberikan rekomendasi kepada PSIM. Kan waktu itu, klub-klub disuruh memberikan rekomendasi pemain-pemain untuk seleksi di PSIM.
- Berapa lama bermain untuk PSIM Jogja?
Dari 2001 sampai 2004. 2005 ketika sudah naik (divisi), saya enggak ikut.
- Lalu apa yang dilakukan setelah itu?
Saya kembali lagi dalam arti menyelesaikan kuliah di FIK UNY. Saya selesaikan dulu, ya bahasanya itu meskipun bermain sepak bola, tapi tetap harus selesai kuliahnya.
- Bisa diceritakan alasan memutuskan menjadi wasit dan melepaskan karier sebagai pesepakbola profesional?
Nah ini ceritanya panjang sekali. Dulu kan saya yang dipegang drs. Soedjono di UNY, dia di senior, terus saya ikut, dia sebagai psikolog-nya. Dia sebagai psikolog waktu saya di PSIM itu dan dia itu dosen saya di UNY. Begitu saya selesai, dia bilang kepada saya ‘Udahlah ga usah jadi pelatih, pokoknya selesai kuliah, kamu jadi wasit, begitu jadi wasit, pekerjaan yang paling selesai adalah wasit, pelatih itu pekerjaan yang tidak pernah selesai dan meskipun kamu sudah punya ilmunya dari FIK banyak, tapi pengakuan dari PSSI kan enggak ada’. Kalau dulu enggak ada lisensi, kalau sekarang ada lisensi D setelah lulus baru-baru ini. Kalau dulu saya enggak ada dan disuruh jadi wasit.
- Berarti sudah lama menjadi wasit?
Iya, saya sampai muak (dilanjutkan ketawa).
- Setelah lulus dari UNY kemudian langsung jadi wasit?
Iya, saya mulai tahun 2005.
- Apakah selama menjadi wasit pernah memimpin pertandingan yang dimainkan PSIM Jogja?
Pernah. Sering saya. Apalagi laga ujicoba-ujicoba gitu saya sering.
- Bagaimana kalau memimpin laga yang dimainkan PSIM Jogja di laga-laga resmi?
Kalau itu enggak.
- Bisa diuraikan suka dan dukanya membela PSIM Jogja saat itu?
Yang jelas satu, pada tahun 2001 itu enggak mikir bayaran, yang penting saya membela PSIM, yang penting saya bisa tidur di utara Mandala Krida. Tidur di sana udah senang banget, entah bayarannya berapa enggak ngerti. Kalau dulu itu bayarannya mengerikan mas, sebulan itu 450.000 per bulan dan latihannya 14 kali dari pagi dan sore. Yang jelas kita orang Jogja itu senang bisa membela PSIM, apalagi bisa bermain di Mandala Krida dengan penonton yang seperti itu.
- Coba terangkan kenangan yang tidak bisa dilupakan selama membela PSIM Jogja?
Yang jelas, saya itu pernah melawan PSIS Semarang. Di Semarang sana kan seharusnya datang di hotel sekitar H-1 atau H-2. Ternyata langsung ke Stadion Jatidiri. Itu langsung main dan makannya itu pakai Nasi Kucing itu. Begitu main, alhamdulilah, dengan sana banyak pemain asing, kami bisa menahan mereka. Kami menahan seri.
- Mempunyai ayah sebagai pemain sepak bola, apakah menjadi alasan Pak Cholid menekuni sepak bola?
Ya jelas. Yang jelas bapak saya dulu itu pemain sepak bola, dari HW juga. Waktu itu, rumah saya Kotagede, di lapangan sana itu ada AM (Angkatan Muda). AM dulu itu kan kumpulan pemain-pemain dari semuanya. Jadi begitu AM main, kan mereka itu para pengrajin yang kalau jam 2 udah selesai kerja, jadi setelah itu mereka bermain dan semua orang menyaksikan mereka bertanding. Alasan saya, saya kan lima bersaudara dan yang menekuni sepak bola cuma saya saja. Saya mengikuti jejak dari ayah saya.
- Seberapa bangga rasanya bisa bermain untuk PSIM Jogja?
Sangat besar sekali dan ini menjadi salah satu cerita juga kepada anak-anak saya dan orang-orang Kotagede itu cuma saya saja yang bisa membela PSIM dan tidak ada yang lain. Setelah tahun 2005 ke sana, ada Pratama Gilang itu. Dengan itu kebanggaan sekali dan motivasi saya menjadi pemain PSIM, kalau tidak PSIM ya dulu itu minimal jadi pemain profesional.
- Adakah pesan-pesan untuk PSIM Jogja saat ini?
Yang pertama persiapan. Persiapan kalau bisa dengan kondisi PSIM yang sekarang, bahasanya itu dana tidak terlalu masalah, lalu persiapan kalau bisa lebih awal dan mencari pemain kalau bisa segera, dalam arti yang kita inginkan. Lalu yang kedua, kalau bisa pelatih yang dari Jogja. Contoh Erwan Hendarwanto, itu rasanya, apalagi dia mantan pemain PSIM lalu tidak begitu jelek melatih PSIM dengan mendapat minus sembilan poin. Coba lihat perjuangannya membalikkan keadaan, sehingga bisa lolos 8 besar. Kalau harapan kami, persiapan bisa lebih awal, lalu urusan dana tidak masalah, kemudian belanja pemain juga kalau bisa segera dan sebagainya, sehingga apa yang kita inginkan, begitu di kompetisi sudah peak performance, jangan peak performance-nya di belakang.