“Cil tibo Cil”, sebuah seruan yang kerap kali diteriakkan oleh suporter Laskar Mataram kala pemain asal Sayegan ini berlari di kotak pinalti lawan. Ya, dia adalah Wahyudianto “Bajang” atau kita kenal juga dengan nama Wahyudianto “Kancil”. Dalam sesi interview, Bajang menceritakan kisahnya kala membela Laskar Mataram.

Apa kabar Wahyudianto ? Apa kesibukan saat ini ?

Kabar baik, saat ini saya mendapatkan amanah di Pemkot, dan dapat amanah juga melatih di SSM GAMA Yogyakarta. Selain itu cuma silaturahmi dengan teman-teman pemain baik di PSIM Legend ataupun PSS Legend.

Dari tahun berapa sampai tahun berapa membela PSIM Jogja ?

Saya sepuluh tahun di PSIM Jogja, dari 1996/1997 itu sampai tahun 2005 waktu juara. Saat itu saya sempat hijrah ke Persiba Bantul, tapi akhirnya kembali ke PSIM Jogja lagi di tahun 2008.

Bagaimana awal mula bisa ke PSIM Jogja ?

Kan dulu saya main di PSS Sleman ketika era Pak Djono (Drs. Soedjono). Kemudian di tahun 1996/1997 saat beliau ke PSIM, beliau mengajak saya untuk bergabung ke PSIM. Sebenarnya sempat ragu waktu itu, iya atau tidak membela PSIM Jogja, tapi akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba main di PSIM Jogja.

Dua kali membawa PSIM Jogja promosi, apa yang dirasakan seorang Wahyudianto kala itu ?

Merupakan kebanggaan tentunya, kan dulu kalau orang DIY belum membawa lambang PSIM di dada itu belum bangga. Apalagi ini berhasil membawa PSIM Jogja promosi sebanyak dua kali.

Diantara tahun 1996/1997, dan 2005, lebih berkesan mana kala itu ?

Sama-sama berkesan sebenarnya, tapi kalau saya sih lebih berkesan di tahun 2005. Karena kan di tahun 2005 kita juara, sedangkan 1996/1997 itu kita cuma runner-up.

Momen paling sulit yang dirasakan saat membela PSIM Jogja ?

Dulu pernah gaji nunggak, itu otomatis menjadi duka buat kita sebagai pemain. Kita latihan pas ditinggal degradasi di 1998/1999, pemain pindah semua. Saya juga hampir pindah ke Sleman lagi, tapi oleh Dokter Antok (Hadianto Ismangoen) masih diminta bertahan, walaupun waktu itu saat kita latihan cuma dibayar Rp. 10.000, dan saat itu pemain lokal semua tapi kita harus bersaing dengan klub yang memiliki pemain asing.

Selain peran Dokter Antok, apakah ada alasan khusus yang membuat Wahyudianto bertahan di PSIM Jogja saat itu ?

Saat itu ya suka aja, bangga sekali membela PSIM saat itu, dengan teman-teman yang lain pun juga sudah menjadi keluarga. Selain itu dukungan dari keluarga khususnya istri juga menjadi alasan kenapa saya memilih bertahan di PSIM Jogja saat itu.

Apakah ada momen unik yang sebenarnya suporter tidak tahu ?

Orang taunya saya ini sering diving, tapi sebenarnya itu engga. Itu kan aturan main bola di kotak 16, saat kita bawa bola dan kita nabrak ya otomatis pelanggaran, jadi kita manfaatkan itu. Padahal saat itu ya benar-benar sakit, habis main ya sakit beneran. Kan gak berkah kalau main tapi kita ngapusi.

Bagaimana awal mula dipanggil Bajang dan Kancil ?

Bajang itu karena teman-teman pra pon, saat saya rambutnya panjang dan kecil, jadi seperti anak Bajang. Kalau kancil itu kan panggilan dari suporter juga.

Pemain paling dekat saat membela PSIM Jogja ?

Semua dekat sih, dan masih menjalin komunikasi yang baik juga sampai saat ini. Banyak juga pemain dari luar kota yang saat datang ke Jogja sering mampir ke rumah.

Pelatih yang paling berkesan bagi seorang Wahyudianto ?

Semua berkesan, baik itu bang Djono (Drs. Soedjono), bang Erents Pahelerang, dan bang haji (Sofyan Hadi), ada plus minusnya. Tapi kalau yang paling tegas ya bang haji, beliau sangat disiplin orangnya.

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *